Antisipasi Dampak La Nina, Kementan Koordinasi Dinas Provinsi dan Balai Perlindungan

  • Bagikan
image_pdfimage_print

Realitarakyat.com – Kementerian Pertanian (Kementan) berkoordinasi dengan dinas pertanian provinsi serta Balai Perlindungan di setiap daerah untuk menyiapkan program langkah antisipasi fenomena alam La Nina yang dapat menyebabkan terjadinya banjir di lahan pertanian.
Berdasarkan data BMKG, pada periode awal musim hujan di akhir tahun ini diikuti dengan adanya fenomena La Nina yang mengakibatkan peningkatan jumlah curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia. Sejumlah wilayah yang terdampak fenomena La Nina antara lain Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Direktur Perlindungan Tanaman Pangan Kementan Edy Purnawan mengimbau agar setiap daerah yang terdampak fenomena La Nina segera melakukan langkah-langkah antisipasi.
“Kami menyiapkan beberapa program skala nasional antara lain penggunaan teknologi biopori, pemanfaatan pompa air pada lokasi terdampak banjir, normalisasi saluran air, sarana pengaliran penampung air, dan asuransi usaha tani padi untuk antisipasi kerugian pada lahan terdampak banjir,” kata Edy, di Jakarta, Sabtu (31/10/2020).
Edy menjelaskan kegiatan tanam pada musim hujan walaupun kebutuhan air tercukupi, namun petani akan banyak menemui kendala dan tantangan. Hal ini dikarenakan padi memang merupakan tanaman yang memerlukan air, tetapi bukan tanaman air.
Di sisi lain, musim hujan juga seringkali menyulitkan petani karena secara umum perkembangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) di musim hujan berlangsung lebih pesat dan mengakibatkan kerusakan tanaman lebih parah. Spalagi jika intensitas serangan dan populasi OPT di musim sebelumnya tinggi yang disebabkan salah satunya oleh anomali iklim.
Dampak fenomena La Nina akan memberikan banyak pengaruh pada tanaman padi dibandingkan kondisi musim hujan yang biasanya.
Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH) Kalimantan Barat Yuliana Yulinda menjelaskan budi daya tanaman di musim kemarau maupun di musim penghujan sebenarnya sama-sama memiliki risiko gagal panen. Perbedaannya, kata dia, terletak pada penyebabnya saja.
“Jika di musim kemarau biasanya disebabkan karena kurangnya pasokan air, sementara kalau di musim penghujan disebabkan karena kelebihan air, di mana curah hujan tinggi tentunya akan menyebabkan kelembaban yang tinggi dan kondisi ini sangat mendukung populasi hama meningkat dan tingkat keparahan penyakit menjadi lebih tinggi,” kata Yuliana.
Untuk mengantisipasi hal tersebut UPT Perlindungan TPH Kalbar bersama seluruh petugas POPT telah melakukan beberapa hal sebagai tindakan antisipasi, antara lain pertama monitoring dan evaluasi kondisi iklim, baik itu melalui kerja sama dengan BMKG, SMPK maupun dari hasil pengamatan AWS yang kemudian dipadukan dengan analisis peramalan OPT.
Kedua, koordinasi dengan instansi terkait untuk memetakan daerah sentra hortikultura yang rawan terkena dampak perubahan iklim dan tindakan pengendalian yang dapat dilakukan bersama.
Ketiga, pemantauan perkembangan OPT secara intensif untuk mengetahui perkembangan OPT sebagai dasar tindakan pengendalian yang dilakukan. Keempat, bimbingan kepada para petani untuk melakukan penyesuaian kultur teknis budi daya sebagai upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim, seperti penggunaan varietas toleran, pengaturan jarak tanam, sanitasi lingkungan, perbaikan drainase, pemupukan dengan dosis yang tepat serta pemanfaatan agensia hayati dalam pengendalian OPT. (ndi)

  • Bagikan