Realitarakyat.com – Nama Adian Napitupulu trending topic di Twitter, Jumat (13/5). Nama itu merujuk pada aktivis 98 Adian Napitupulu yang bereaksi atas tweet politikus Partai Gelora Fahri Hamzah.
Dalam cuitannya, Fahri Hamzah menuliskan daftar pesan yang berisi 6 poin: “Pesanku pada generasi ku!: 1. Jangan biarkan kebebasan terancam. 2. Jangan biarkan rakyat sakit dan menderita. 3. Jangan biarkan penguasa menganiaya. 4. Jangan biarkan pengusaha mengatur Negara. 5. Jangan jadi corong penguasa! 6. Bantu dan lindungi mahasiswa dan oposisi!” cuit Fahri pada 7 Mei 2022 dikutip, Jumat (13/5).
Merespon hal tersebut, Adian Napitupulu menyatakan waktu merupakan cara menguji masing-masing orang atas sikap, komitmen dan perjuangan yang mereka lakukan.
“Terima kasih untuk Fahri Hamzah yang telah memberi pesan pada generasinya. Saya tidak tahu pesan itu untuk semua yang segenerasi atau hanya untuk saya dan Budiman saja,” kata Adian Napitupulu dalam tulisannya diterima di Jakarta Jumat (13/5).
Adian membuat tulisan tersebut menanggapi cuitan Twitter Fahri Hamzah yang menampilkan foto dirinya dan Budiman Sudjatmiko yang diunggah pada 7 Mei 2022.
“Saya melihat pesan itu seperti mempertanyakan komitmen perjuangan, komitmen kerakyatan pada saya dan Budiman setelah 24 tahun reformasi. Jika demikian, izinkan saya menjawab itu dengan sedikit berbagi cerita,” kata dia.
Adian menceritakan perjuangannya dengan rekan sejawat saat turun ke jalan pada 1999 lalu untuk memperjuangkan reformasi. Perjuangan dan komitmen Adian membela kepentingan rakyat tidak surut. Pada 2008 dia mengatakan kantor pengacara miliknya digaris polisi.
“Saya dikejar hingga jadi ‘gelandangan’ berkeliling dari kota-kota lalu jadi pengumpul trolly di berbagai pusat belanja negara orang. 2010 saya di pukuli hingga babak belur oleh belasan polisi di Pengadilan Jakarta Pusat,” kata dia lagi.
Kemudian, lanjut Adian pada 2014 dirinya baru terpilih menjadi anggota DPR dan dirinya tetap tegak lurus memperjuangkan hak-hak rakyat. Dirinya bersama rakyat sejak 2015 memperjuangkan agar berhektar-hektar tanah Cendana di kabupaten Bogor bisa dibagikan menjadi milik Rakyat.
Adian mengatakan dirinya dan Dani Amrul Ichdan (Direksi Mind Id) bersama masyarakat Pongkor juga berjuang sesuai harapan Presiden Jokowi agar ribuan rakyat bisa membentuk koperasi tambang dan menambang emas di Lahan Antam di Pongkor.
“Fahri, kita beda pilihan, beda jalan dan yang saya pilih adalah jalan yang sulit, menyakitkan dan tidak menyenangkan. Walau demikian toh saya tidak pernah usil mengkritik dan mempertanyakan pilihan politik masing-masing orang, termasuk mengkritik Fahri saat itu sedang menikmati kursinya sebagai anggota DPR RI,” ujar Adian.
Perjuangan bersama rakyat juga ditunjukkan yakni dengan Masyarakat Konawe Utara memperjuangkan 400 hektare lahan Antam agar bisa dikelola oleh perusahaan daerah kabupaten Konawe Utara.
Dirinya juga menunjukkan keberpihakan pada rakyat dengan menjenguk ribuan Aktivis dan mahasiswa untuk memastikan tidak ada kekerasan dalam pemeriksaan terhadap mereka yang ditahan di Polda Oktober 2020 karena menolak UU Cipta kerja.
Kemudian dia dan beberapa Alumni Trisakti diantaranya Maman Abdurachman, Hendro dan Iwan berjuang meyakinkan banyak orang untuk membantu rumah dan modal kerja pada 4 keluarga korban Trisakti.
Pada 2017, dia memperjuangkan ratusan pekerja taman dan kebersihan DPR gajinya tidak dibayar hingga sehari sebelum Idul Fitri.
“Saya harus seharian berkeliling meminjam uang sana sini dan mengagunkan BPKB agar gaji ratusan pekerja itu bisa di bayar DPR sehari jelang Hari Raya Idul Fitri,” ucapnya.
Dia juga sempat beradu otot leher di kesekjenan DPR agar Pamdal DPR tidak dipotong Rp500.000 per bulan untuk sertifikasi pengamanan.
Pada 2014, Adian harus ke Lembaga Pemasyarakatan Sulawesi Tengah lalu kembali ke Jakarta untuk meyakinkan Presiden Jokowi agar membebaskan Eva Susanti Bande salah satu aktivis 98 yang pada 2013 di vonis 4 tahun penjara karena memperjuangkan petani sawit di sulteng.
Dia bersama aktivis 98 lainnya juga bolak-balik berkali-kali meyakinkan Presiden Jokowi agar menggunakan kewenangannya untuk membebaskan puluhan tahanan politik Papua.
“Banyak dan teramat banyak cerita yang bisa saya sampaikan. Maaf jika itu semua harus saya uraikan, bukan bermaksud memegahkan dan menyombongkan diri tapi pesan kritik yang seolah mempertanyakan komitmen itu perlu saya jawab,” ujarnya.
Sekjen Pena 98 itu menambahkan, Agustus 2015 Fahri mengatakan bahwa anggota DPR rada rada bloon. Pernyataan itu bukan saja menghina para anggota DPR tapi juga menghina partai yang menyeleksi calon bahkan lebih jauh menghina rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang memilih nama-nama itu di bilik suara.
“Kembali saya kecewa pada Fahri yang mencela proses Demokrasi yang sudah memberi dia kesempatan menjadi anggota DPR 3 periode. Aneh, bagaimana mungkin ada orang yang bisa mencaci-maki prosesnya tapi hasil dari proses itu justru dia nikmati belasan tahun,” kata Adian.
Politikus PDIP itu menanyakan kinerja Fahri pada 2015. Dirinya bersama masyarakat berjuang agar tanah berhektare-hektare milik Cendana di Kabupaten Bogor bisa dibagikan menjadi milik rakyat. Saat itu sebagian rakyat Bogor, Cianjur, Sumedang, Bandung, Majalengka, dan Cirebon hingga Semarang memperjuangkan hak atas tanahnya yang dilintasi jalur SUTET dan beberapa perjuangan rakyat Indonesia untuk mendapatkan haknya sebagai warga negara.
“Kenapa Fahri tidak ada bersama saya saat menjenguk ribuan aktivis dan mahasiswa untuk memastikan tidak ada kekerasan dalam pemeriksaan terhadap mereka yang ditahan di Polda Oktober 2020 karena menolak UU Cipta kerja?” tutur Adian.
“Banyak dan teramat banyak cerita yang bisa saya sampaikan. Maaf jika itu semua harus saya uraikan, bukan bermaksud memegahkan dan menyombongkan diri tapi pesan kritik yang seolah mempertanyakan komitmen itu perlu saya jawab. Melalui jawaban ini saya mencoba mengingatkan Fahri untuk tidak saling menghakimi dan mempertanyakan pilihan jalan dan pilihan perjuangan masing masing. Saya hanya ingin mengingatkan Fahri bahwa ada waktu di mana kita bicara tapi ada juga banyak waktu di mana bekerja tanpa suara. Karena seringkali satu perbuatan lebih berarti dari sejuta ucapan,” katanya.[prs]