Realitarakyat.com – Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Gerindra, Himmatul Aliyah berharap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyampaikan peta jalan pendidikan nasional.
“Merdeka belajar, kurikulum dan lainnya merupakan bagian dari peta jalan, namun faktanya di lapangan banyak keluhan masyarakat. Karena itu, Komisi X DPR masih menunggu peta jalan pendidikan nasional itu,” ujar Himmatul Aliyah, saat menjadi pembicara dalam Diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema “Merdeka Belajar! Membedah Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023’, di Media Center, gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (12/9/2023).
“Merdeka belajar, kurikulum dan lainnya merupakan bagian dari peta jalan, namun faktanya di lapangan banyak keluhan masyarakat. Karena itu, Komisi X DPR masih menunggu peta jalan pendidikan nasional itu,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, diskusi tersebut dihadiri selain anggota Komisi X DPR Hj. Himmatul Aliyah, juga hadir sebagai pembicara Sesditjen Diktiristek Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie, Ph.D, Ketua Program Studi Administrasi Publik Program Doktor Universitas Moestopo, Pandji Sukmana, dan Wakil Rektor Universitas Mercu Buana Rizki Briandana.
Dalam kesempatan itu, Sesditjen Diktiristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie menyinggung soal standar kelulusan perguruan tinggi. Menurut dia sebagaimana halnya di luar negeri, standar atau syarat kelulusan kesarjanaan mahasiswa itu dikembalikan kepada masing-masing perguruan tinggi.
“Juga dalam rangka mengembalikan otonomi kampus dan itu tergantung program pendidikannya atau studi prodi. Kalau seni bisa dalam bentuk karya seni, film, dan sebagainya. Kalau fisika, kimia, matematika, bisa berupa temuan atau rumus baru dan lain-lain,” ujarnya.
“Tidak wajib skripsi bukan berarti menghapus skripsi, tapi disesuaikan dengan prodi yang ada di masing-masing perguruan tinggi. Itu sama sekali tidak menurunkan kualitas maupun standar syarat kelulusan,” kata Tjitjik menambahkan.
Lebih lanjut Tjitjik mengatakan bahwa Permendikbudristek No.53 tahun 2023 ini bertujuan menyesuaikan standar pendidikan dengan perkembangan dan tantangan zaman sekarang. Karena Permendikbudristek No.3 tahun 2020 tidak ada ruang berinovasi bagi perguruan tinggi.
“Jadi, standar nasional diubah tidak lagi preskriptif, menemtukan atau memerintah, tapi kerangka saja atau frame work, untuk mengembalikan ruh otonomi akademik,” ujarnya.
Kuliah pun kata Tjitjik untuk 45 jam itu tidak harus tatap muka di ruang kelas, tapi harus disesuaikan dengan karaktetistik di perguruan tinggi masing-masing. “Sekarang perguruan tinggi dituntut berinovasi akademik dan tidak cenderung hanya sebagai pelaksana,” ungkapnya.
Rizki Briandana justru merasa beruntung dengan standar kelulusan tidak wajib skripsi tersebut. Sehingga banyak mahasiswanya yang kini lebih kreatif dan berinovatif dengan membuat karya seni, film, dan sebagainya yang prodinya di bidang seni.
“Hanya saja semua tetap dilakukan sidang dengan ditulis untuk dipertanggungjawabkan secara akademis di depan para penguji dan dipublikasikan sebagai usaha untuk mengejar word class university, yang kriterianya dalam bentuk jurnal,” kata Rizki. (ndi)