SETARA Institute: Hampir Satu Dekade Perjalanan Jokowi Tanpa Pemajuan HAM

  • Bagikan
SETARA Institute: Hampir Satu Dekade Perjalanan Jokowi Tanpa Pemajuan HAM
//net/ist
image_pdfimage_print

Realitarakyat.com – Indeks HAM adalah studi pengukuran kinerja negara, sebagai pemangku kewajiban (duty bearer). dalam perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM di Indonesia.

Disusun dengan mengacu pada rumpun-rumpun hak yang terdapat dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya dengan menetapkan 6 indikator pada variabel hak sipil dan politik dan 5 indikator pada variabel hak ekonomi, sosial, budaya yang diturunkan ke dalam 50 sub-indikator.

SETARA Institute menyampaikan penilaian ini dengan menggunakan skala Likert dengan rentang 1-7, yang menggambarkan nilai 1 sebagai perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM yang paling buruk, dan angka 7 menunjukkan upaya komitmen pemajuan HAM yang paling baik. Penilaian ini menggunakan triangulasi sumber dan expert judgement sebagai instrumen justifikasi temuan studi.

Pada Indeks HAM 2023, skor rata-rata untuk seluruh variabel adalah 3,2, yaitu turun 0,1 dari tahun sebelumnya yang berada pada skor 3,3. Skor rata-rata nasional lebih banyak dikontribusi oleh indikator-indikator dalam variabel hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob) yang mencapai skor rata-rata 3,3, dengan penyumbang skor tertinggi adalah hak atas pendidikan yang meraih angka 4,4. Sementara pada pemenuhan hak atas tanah masih berada pada skor 1,9.

Pada variabel hak sipil dan politik (sipol), negara membukukan capaian di angka 3 dengan indikator kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai penyumbang skor terendah, yakni 1,3 diantara seluruh indikator lainnya.

Pemenuhan hak atas tanah dan jaminan kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah hak yang paling buruk selama kepemimpinan Jokowi yang hampir menuju satu dekade.

Jika membandingkan rata-sata skor nasional sejak 2019, data SETARA Institute menunjukkan bahwa kepemimpinan Jokowi tidak pernah mencapai angka moderat yakni 4 dengan skala 1-7. Di tahun 2019 skor Indeks HAM sebesar 3,2, lalu 2020 di angka 2,9, tahun 2021 di angka 3, tahun 2022 di angka 3,3 dan di tahun 2023 ini kembali turun menjadi 3,2.

Memasung Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat

Pengkerdilan ruang-ruang sipil yang semakin masif terefleksi pada skor indikator kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat yang selalu menjadi indikator dengan skor paling rendah di tiap tahunnya, bahkan selalu mengalami penurunan dari tahun ke tahun, termasuk di tahun ini yang mengalami deklinasi atau penurunan tajam skor sebesar -0,6 dibanding pada Indeks HAM 2019.

Kekerasan terhadap jurnalis, kriminalisasi berdasarkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), represi aparat terhadap massa, pembubaran diskusi publik, pembatasan kebebasan akademik, hingga kekerasan berbasis orientasi, identitas, dan ekspresi gender adalah rentetan peristiwa yang selalu dijumpai sepanjang pemerintahan Presiden Jokowi, dengan kecenderungan jumlah kekerasan yang terus meningkat dari tahun 2014 hingga 2023.

Kekerasan terhadap jurnalis pada pemerintahan Jokowi yang mencapai 81 kasus di tahun 2016 dan 84 kasus di tahun 2020 sebagai puncak dari pemasungan kebebasan.

Pasal karet dalam UU ITE menjadi alat pembungkaman terhadap suara-suara yang vokal dan kritis terhadap jalannya pemerintahan. Bahkan, sejak UU ITE disahkan di tahun 2008, kriminalisasi berdasar UU ITE paling banyak ditemukan di tahun kepemimpinan Presiden Jokowi, yaitu sebanyak 97 kasus di tahun 2022.

Represifitas terhadap massa yang berekspresi melalui demonstrasi juga masih sangat masif ditemukan. Kriminalisasi masyarakat adat Poco Leok di Manggarai, represi terhadap masyarakat Rempang, hingga kriminalisasi petani di Air Bangis menjadi potret pemberangusan freedom of expression di balik beragam eksekusi Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digencarkan pemerintah.

Selain itu SAFEnet (2023) mencatat sepanjang Januari-Oktober 2023, setidaknya ada 89 kasus kriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal bermasalah UU ITE. Jumlah ini diprediksi akan terus meningkat menjelang momentum politik Pemilu 2024.

Merusak Demokrasi, Mengabaikan Nomokrasi

Skor pada indikator hak turut serta dalam pemerintahan di tahun 2023 mengalami regresi yang sangat signifikan, menurun sebesar -1,0 dibanding dengan skor pada Indeks HAM 2019 dan -0,6 apabila dikomparasikan dengan skor tahun lalu.

Disrupsi legislasi dan autokratik legalisme yang dipraktikkan sepanjang empat tahun terakhir telah merampas ruang partisipasi yang berkualitas. Presiden Jokowi pada 31 Maret menetapkan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang. Alih-alih membuka proses deliberatif dalam rangka meaningful participation bagi masyarakat luas untuk melakukan perbaikan terhadap UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah diputus inkonstitusional bersyarat oleh MK melalui Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020, Presiden justru membuat Perppu untuk untuk menyiasati Putusan MK tersebut. Artinya, Perppu yang merupakan hak prerogatif Presiden sengaja dibuat Presiden Jokowi untuk menghindari aspirasi demokrasi di balik dalih kegentingan memaksa.

Kualitas partisipasi juga dilangkahi oleh lembaga pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi, yang melahirkan Putusan No. 90/PUU-XXI/2023. Kritik masif dari masyarakat luas terhadap MK untuk bersikap adil dan konstitusional dalam memutus perkara No. 90/PUU-XXI/2023 telah diabaikan.

Mengabaikan suara publik adalah sama dengan mematikan ruang partisipasi. Kondisi demikian mempertontonkan bahwa bukan saja soal demokrasi yang telah dicederai, namun negara juga tengah melakukan pembangkangan pada nomokrasi.

Derogasi terhadap hak turut serta dalam pemeritahan juga tergambar dalam proses elektoral menuju Pemilu 2024. Sekalipun secara nasional keterwakilan perempuan dalam calon anggota legislatif (caleg) DPR RI dari seluruh parpol telah di atas 30%, namun pada faktanya, dari 84 dapil anggota DPR dan 18 partai politik peserta pemilu, hanya satu parpol yang memenuhi syarat keterwakilan perempuan 30% pada semua daftar caleg tetap (DCT) di 84 dapil.

Sementara, 17 parpol lainnya tidak mencapai syarat 30% pada seluruh DCT di 84 dapil (Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan, 2023).
Fakta ini merefleksikan bahwa syarat minimal 30% keterwakilan perempuan hanyalah retorika semata dan hanya sebagai alat checklist pelibatan perempuan, namun tidak sungguh-sungguh memberikan ruang partisipasi substantif bagi perempuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan agar diakomodir dalam berbagai rencana kebijakan yang akan dirumuskan di parlemen.

Janji yang Tidak Ditunaikan pada Masyarakat Adat

Penurunan skor pada hak atas tanah sebesar -1,5 dibanding Indeks HAM 2019 dan -0,3 dibanding pada Indeks HAM 2022 menjadi implikasi dari masih menjalarnya konflik agraria. Dihimpun berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), konflik agraria yang terjadi selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo 2015-2021 mencapai 2.498 kasus, melampaui jauh dari masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berjumlah 1.770 kasus. KPA juga mencatat 73 konflik akibat PSN selama pemerintahan Jokowi dari tahun 2015-2023. Pengaturan dalam UU No. 21/2023 tentang Perubahan UU 3/2022 tentang Ibu Kota Nusantara (IKN) mengenai pemberian Izin Hak Guna Usaha (HGU) selama 190 tahun bagi investor di lokasi IKN hanya menjadi pelayan investor dan semakin memperkeruh konflik yang terjadi.

Selain itu, praktik ketersediaan ragam kanal uji tuntas baik HAM dan Lingkungan oleh negara kepada perusahaan yang masih bersifat voluntary dan tidak konsisten, menjadikan akuntabilitas dan analisis kepatuhan oleh bisnis sulit termonitoring dengan baik.

Percepatan investasi menuntut tanggung jawab penyediaan kebijakan negara yang lebih serius dan bersifat mandatoris untuk pelaporan uji tuntas HAM dan Lingkungan yang mengikat praktik bisnis di Indonesia.

Alih-alih memenuhi 9 janji Presiden Jokowi terhadap masyarakat adat, eskalasi konflik di atas wilayah adat semakin terjadi. Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencatat masih ada 23,17 juta hektar atau sekitar 86,1% wilayah adat yang saat ini masih belum mendapat pengakuan oleh pemerintah daerah.

Regulasi melalui Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 justru akan menerbitkan Hak Pengelolaan (HPL) di atas tanah ulayat. Pemberian HPL di atas tanah ulayat berpotensi menyebabkan hilangnya hak masyarakat adat atas tanah ulayat yang telah dimiliki, dikuasai dan dikelola secara turun-temurun, sekaligus menabrak esensi perlindungan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat yang telah diatur di dalam konstitusi.

Catatan tahunan AMAN pada tahun 2022 menyebutkan bahwa sebanyak 2.400 hektar wilayah adat telah dirampas untuk Perhutanan Sosial (Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Produksi, dan Kemitraan).

AMAN mencatat bahwa selama sepanjang 2018-2022, setidaknya ada 301 kasus yang merampas 8,5 juta hektar wilayah masyarakat adat (Raden Aryo Wicaksono, 2023). Perampasan wilayah adat juga semakin terang terjadi melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digencarkan Presiden Jokowi.

Dari 161 PSN yang sudah terealisasi hingga September 2023, banyak diantaranya justru dengan merampas wilayah adat. Belum selesainya permasalahan IKN yang dibangun di seluruh wilayah Komunitas Masyarakat Adat Balik Sepaku, pemerintah kembali merampas wilayah adat demi kepentingan PSN Rempang Eco-City di Pulau Rempang Batam pada September 2023.

Konflik perampasan wilayah adat lainnya akibat PSN di antaranya proyek Food Estate di Papua Barat dan Kalimantan Tengah, pembangunan Waduk Lambo di Nagekeo, hingga proyek Geothermal di Manggarai.

7 Rekomendasi bagi Kepemimpinan Nasional Baru

1. Presiden Jokowi mengakselerasi adopsi instrumen HAM internasional melalui ratifikasi Optional Protocol to the Convention Against Torture dan pengesahan RUU Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.
2. Mengambil tindakan segera untuk mencetak legacy di bidang HAM, di antaranya melalui penghentian Proyek Strategis Nasional (PSN) yang belum terrealisasi dan menimbulkan pelanggaran HAM, akselerasi penyelesaian yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk penuntasan kejahatan pembunuhan atas Munir Said Thalib.
3. Kepemimpinan nasional baru menjadikan HAM sebagai basis penyusunan perencanaan pembangunan melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 dengan indikator-indikator yang presisi dan berbasis pada disiplin hak asasi manusia.
4. Kepemimpinan nasional baru memperkuat dukungan kebijakan yang mengikat sektor bisnis dan dukungan penganggaran yang signifikan untuk pengarusutamaan bisnis dan HAM sebagai instrumen perwujudan kesetaraan akses terutama hak atas tanah untuk mencegah keberulangan kasus pelanggaran HAM pada sektor bisnis.
5. Kepemimpinan nasional baru memastikan perencanaan pembangunan yang inklusif dan memastikan semua entitas warga negara memperoleh jaminan pemajuan kesejahteraan tanpa diskriminasi.
6. Kepemimpinan nasional baru mengadopsi dan memastikan tata kelola yang inklusif (inclusive governance) dalam menangani intoleransi, radikalisme dan terorisme, guna mewujudkan inclusive society yang memiliki ketahanan atau resiliensi dari virus intoleransi dan radikalisme.
7. Kepemimpinan nasional baru mengagendakan pembahasan sejumlah RUU yang kontributif pada pemajuan HAM seperti RUU Masyarakat Adat, RUU Sistem Pendidikan Nasional serta melakukan tinjauan ulang terhadap regulasi dan kebijakan yang kontra-produktif pada pemajuan HAM seperti UU Cipta Kerja dan UU Perubahan Kedua UU ITE. (ndi)

  • Bagikan